Pernah dengar strategi kura-kura atau Turtle Trading Strategy? Ini adalah strategi yang dibuat oleh dua legenda pasar, Richard Dennis dan William Eckhardt, untuk menjawab satu pertanyaan kontroversial:
Apakah trader itu dilahirkan atau bisa dilatih?
Mereka merekrut orang-orang tanpa pengalaman trading, mengajarkan satu set aturan sederhana—dan hasilnya mengejutkan.
Strategi ini tidak hanya menghasilkan jutaan dolar saat itu, tapi masih relevan puluhan tahun kemudian.
Dalam artikel ini, kita akan kupas aturan-aturan yang dipakai para “kura-kura”, dan yang paling menarik—bagaimana jika strategi ini diterapkan dalam IHSG.
Siap membuktikan sendiri apakah kamu juga bisa jadi “kura-kura” selanjutnya?
Sejarah Turtle Trading Strategy
Pada awal 1980-an, dua sahabat sekaligus legenda trading—Richard Dennis, seorang trader komoditas sukses, dan William Eckhardt, seorang matematikawan—berdebat soal satu hal mendasar: Apakah trader hebat itu terlahir dengan bakat alami, atau bisa dibentuk lewat pelatihan dan aturan yang tepat?
Untuk membuktikannya, Dennis melakukan eksperimen sosial yang kini legendaris. Ia merekrut sekelompok orang dari berbagai latar belakang—mulai dari penjaga keamanan hingga akuntan—tanpa pengalaman trading sama sekali. Kelompok ini kemudian dijuluki “The Turtles”.
Selama dua minggu, para kura-kura ini diajarkan satu sistem trading berbasis trend following dengan aturan yang sangat jelas: kapan masuk, kapan keluar, ukuran posisi, hingga manajemen risiko. Setelah itu, mereka diberi modal nyata untuk diperdagangkan di pasar.
Hasilnya? Banyak dari mereka menghasilkan jutaan dolar hanya dalam beberapa tahun.
Eksperimen ini tidak hanya membungkam skeptis, tapi juga membuktikan bahwa dengan disiplin dan sistem yang solid, siapa pun bisa menjadi trader sukses—tanpa perlu intuisi pasar yang mistis.
Aturan Turtle Trading Strategy
Strategi Turtle Trading adalah sistem trend following berbasis breakout dengan aturan yang sangat ketat dan bisa dijalankan siapa pun, bahkan tanpa intuisi pasar. Berikut inti dari aturannya:
1. Entry (Sinyal Beli & Jual)
-
Breakout 20-day high/low:
Beli saat harga menembus harga tertinggi 20 hari terakhir, jual saat menembus harga terendah 20 hari terakhir (untuk short). -
Jika breakout 20 hari gagal (false breakout), gunakan breakout 55 hari sebagai sinyal cadangan.
2. Position Sizing (Ukuran Lot)
-
Turtle menggunakan konsep unit, bukan jumlah lot tetap. Ukuran posisi dihitung berdasarkan volatilitas pasar (ATR).
-
Mereka memakai rumus N, yaitu Average True Range 20 hari, untuk menentukan seberapa besar risiko per trade.
3. Pyramiding (Menambah Posisi)
-
Jika harga terus bergerak searah, posisi boleh ditambah maksimal 4 unit tambahan dengan jarak kelipatan 0.5 x N.
-
Ini memungkinkan ikut tren besar tanpa langsung all-in sejak awal.
4. Stop Loss & Exit
-
Stop loss ditentukan berdasarkan 2 x N dari harga entry.
-
Exit dilakukan jika harga berbalik dan menembus harga terendah/tertinggi 10 hari (tergantung arah posisi), atau terkena stop manual.
5. Manajemen Risiko
-
Risiko per posisi dibatasi maksimal 2% dari modal.
-
Total posisi terbuka juga dibatasi agar tidak terlalu terekspos ke satu sektor atau instrumen.
🔍 Contoh Penggunaan Strategi Turtle
Misalnya kamu sedang mengamati saham XYZ, dan kamu ingin menerapkan Turtle Entry System.
✅ Data yang Dibutuhkan:
-
Harga tertinggi 20 hari terakhir = Rp1.000
-
Harga saat ini = Rp1.005 → terjadi breakout!
-
N (Average True Range 20 hari) = Rp10
-
Modal trading = Rp100.000.000
-
Maksimal risiko per posisi = 2% dari modal = Rp2.000.000
🟢 Langkah 1: Entry
Karena harga menembus 20-day high di Rp1.000, kamu akan beli di Rp1.005 sebagai sinyal awal.
🧮 Langkah 2: Hitung Ukuran Posisi
Ukuran posisi dihitung dengan rumus:
Unit size = (2% modal) / (N × harga per saham)
= 2.000.000 / (10 × 1.005)
= 2.000.000 / 10.050 ≈ 199 saham
Jadi kamu beli 199 saham XYZ di Rp1.005.
🛑 Langkah 3: Stop Loss
Stop loss ditempatkan di:
Entry Price – (2 × N) = 1.005 – 20 = Rp985
Jika harga turun ke Rp985, kamu jual rugi dan keluar dari pasar.
📈 Langkah 4: Tambah Posisi (Pyramiding)
Jika harga naik dan mencapai:
-
Rp1.010 (entry + 0.5 × N)
-
Rp1.015
-
Rp1.020
Kamu bisa tambah posisi dengan jumlah unit yang sama, maksimal 4 kali penambahan.
🔚 Langkah 5: Exit (Take Profit)
Misalnya kamu tidak terkena stop loss dan harga kemudian turun ke:
-
Lowest 10-day price = Rp1.040
Kamu keluar dari posisi sebagai sinyal take profit.
Backtest Turtle Trading Strategi di IHSG dan Saham Lokal
Nah, setelah memahami strategi Turtle Trading secara menyeluruh, sekarang saatnya kita uji: apakah strategi ini cocok diterapkan di pasar saham Indonesia?
Untuk menjawabnya, kami melakukan backtest sederhana menggunakan data harian dari grafik IHSG dan saham-saham LQ45 selama 10 tahun terakhir (2015–2024). Agar proses backtest lebih praktis dan terukur, kami melakukan beberapa penyesuaian teknis sebagai berikut:
⚙️ Aturan Backtest:
-
Data yang diuji:
-
Grafik indeks IHSG.
-
Saham-saham yang tergabung dalam indeks LQ45 selama periode 2015–2024.
-
-
Manajemen modal:
-
Untuk IHSG: setiap sinyal beli akan all-in sebesar Rp100.000.000.
-
Untuk saham LQ45: setiap posisi akan menggunakan 10% dari modal total per saham.
-
-
Sinyal Beli (BUY):
-
Eksekusi beli dilakukan di harga open hari ini, jika harga high kemarin menembus harga tertinggi 20 hari terakhir.
-
-
Sinyal Jual (SELL):
-
Eksekusi jual dilakukan di harga open hari ini, jika harga low kemarin menembus harga terendah 10 hari terakhir.
-
Contoh Turtle Trading Strategi di IHSG
Seperti yang terlihat pada grafik di atas, terdapat tiga contoh sinyal: dua sinyal jual (sell) dan satu sinyal beli (buy).
Cara kerjanya cukup sederhana:
-
Ketika harga penutupan kemarin (close) menembus garis merah, yang merupakan harga terendah 10 hari terakhir, maka kita akan melakukan penjualan (sell) di harga open keesokan harinya.
-
Sebaliknya, ketika harga penutupan kemarin menembus garis biru, yaitu harga tertinggi 20 hari terakhir, maka kita akan melakukan pembelian (buy) di harga open hari berikutnya.
Dengan aturan ini, kita selalu masuk ke pasar setelah terjadi breakout, bukan berdasarkan prediksi—sesuai prinsip utama dari strategi Turtle: ikut tren, bukan menebak arah.
Kita menggunakan harga pembukaan (open) keesokan harinya sebagai titik eksekusi karena pendekatan ini lebih realistis untuk trader ritel.
Sebagian besar investor individu tidak memantau pergerakan harga secara real-time sepanjang hari.
Dengan mengeksekusi di harga open, strategi ini tetap bisa dijalankan secara disiplin dan praktis, tanpa perlu duduk di depan layar setiap saat.
📉 Bagaimana Hasilnya?
Setelah diterapkan pada data IHSG periode 2015–2024, hasil strategi Turtle Trading ternyata cukup mengejutkan:
-
Rata-rata return per tahun hanya 1,26%, lebih rendah dibandingkan return IHSG itu sendiri yang mencapai 3,05% per tahun.
Namun, sisi menariknya justru ada pada manajemen risikonya:
-
Drawdown maksimum strategi ini tercatat hanya -13,86%, jauh lebih kecil dibandingkan drawdown IHSG yang mencapai -41,14% di periode yang sama.
Selain itu, strategi Turtle hanya membuat kita terekspos di pasar sekitar 42% dari total waktu. Artinya, selama 58% waktu lainnya, modal kita bisa ditempatkan di instrumen lain seperti deposito, obligasi, atau reksa dana pasar uang—yang tentu bisa membantu meningkatkan total return portofolio tanpa menambah risiko.
📊 Bagaimana Jika Diterapkan di Saham LQ45?
Tentu saja kita tidak bisa benar-benar trading langsung di IHSG, karena IHSG hanyalah indeks—bukan instrumen yang bisa dibeli. Jadi, langkah logis berikutnya adalah menerapkan strategi Turtle ini ke saham-saham yang tergabung dalam LQ45, yaitu kumpulan saham paling likuid dan berkapitalisasi besar di Bursa Efek Indonesia.
Kami melakukan backtest pada seluruh anggota LQ45 selama periode 2015–2024, dengan asumsi:
-
Modal awal Rp100 juta, dan setiap posisi saham menggunakan 10% dari modal (Rp10 juta per saham).
-
Setiap sinyal buy dan sell mengikuti aturan breakout yang sama seperti sebelumnya (breakout 20-day high untuk entry, breakout 10-day low untuk exit).
-
Semua transaksi dieksekusi di harga open keesokan harinya setelah sinyal muncul.
📈 Hasilnya?
Ketika strategi Turtle Trading diterapkan ke portofolio saham LQ45 selama periode 2015–2024, hasilnya ternyata cukup menggiurkan:
-
Return rata-rata mencapai 14,3% per tahun.
-
Modal awal Rp100 juta bisa tumbuh menjadi sekitar Rp380 juta hanya dalam 10 tahun—tanpa perlu trading tiap hari.
Lebih menariknya lagi, strategi ini tidak terlalu aktif: hanya ada 115 transaksi selama 10 tahun, artinya kamu hanya melakukan buy atau sell sekitar 1x per bulan saja.
Cocok banget buat kamu yang gak suka mantengin layar tiap hari atau capek bayar komisi bolak-balik—lebih santai, lebih hemat. 😄
⚠️ Tapi, Tidak Ada Strategi yang Sempurna
Meski return-nya tinggi, strategi ini bukan tanpa risiko. Beberapa kekurangan yang perlu kamu tahu:
-
Win rate-nya hanya 36,52%, artinya dari 100 open posisi, sekitar 64 kali kamu akan mengalami kerugian (cut loss). Strategi ini memang lebih mengandalkan tren panjang ketimbang menang sering.
-
Drawdown tertinggi mencapai -54,11%, yang artinya di titik terendah kamu bisa kehilangan lebih dari separuh modal sebelum pulih.
Penurunan terbesar ini terjadi saat pasar anjlok hebat di masa pandemi Covid-19 tahun 2020.
Strategi ini cocok jika kamu tahan mental saat rugi kecil berkali-kali sambil menunggu satu tren besar yang bisa membayar semuanya—plus untung ekstra.
🧠 Kesimpulan: Apakah Strategi Ini Cocok Buat Kamu?
Turtle Trading Strategy jelas bukan strategi untuk semua orang.
Kalau kamu:
-
Suka menang sering dan gak tahan cut loss berturut-turut,
-
Panik lihat portofolio merah,
-
Atau berharap profit cepat dalam hitungan hari,
…maka strategi ini mungkin akan terasa menyiksa secara mental.
Tapi kalau kamu:
-
Punya mental tahan banting,
-
Paham bahwa loss itu bagian dari proses,
-
Sabar menunggu peluang besar sambil tetap disiplin pada aturan,
- Malas Buy dan Sell terlalu sering
…maka strategi ini bisa jadi alat yang powerful buat membangun portofolio dalam jangka panjang.
Dengan aturan yang jelas dan sistematis, kamu gak perlu jadi cenayang pasar. Cukup ikuti sinyal, atur ukuran posisi, dan biarkan sistem bekerja.
Bonusnya? Kamu punya lebih banyak waktu luang karena gak harus pantengin chart tiap hari. Cocok buat yang ingin tetap serius di pasar, tapi tanpa jadi budak layar.
⚠️ Tapi perlu diingat: Turtle Trading adalah strategi trend following. Artinya, strategi ini akan bersinar saat pasar sedang membentuk tren kuat—naik ataupun turun. Sayangnya, dalam 10 tahun terakhir, grafik IHSG cenderung sideways alias ranging, sehingga hasilnya pun kurang optimal.
Solusinya? Terapkan strategi ini ke saham-saham yang benar-benar menunjukkan tren kuat, bukan saham yang ranging.
Dengan pemilihan saham yang tepat, potensi strategi ini bisa jauh lebih maksimal.